Teks asli artikel ini yang dalam bahasa Belanda dapat dibaca di sini. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dibuat dengan bantuan Noriko Ishida.
Masa Muda
Jan dilahirkan dan dibesarkan di Den Haag di dalam keluarga liberal yang memeluk agama Kristen Katolik dan dalam hal ideologi bersimpati kepada sosialisme. Ketika Jan masih kecil, keluarganya sering bermain ke rumah nenek di kota Oss. Dari neneknya yang bernama Trees itu (Theresia van der Lee), Jan diperkenalkan dunia Katolik Roma dan juga kebudayaan Brabant, daerah Belanda-Selatan. Dia semakin tertarik kepada Katolik Roma sehingga berminat untuk menjadi pastor misionaris. Meskipun tidak mendapatkan restu dari orang tuanya, Jan mendaftarkan diri di seminari di Weert pada tahun 1939. Segera setelahnya, adik Jan yang bernama Kees (1927-2017) juga mendaftarkan diri di seminari yang sama.
Masa Pendudukan Jerman
Jan tidak menyesesaikan studinya untuk mejadi pastor karena, sebagaimana dikatakan sendiri, "hasratnya pada perempuan". Ketika Perang Dunia II mulai dan Belanda diduduki oleh tentara Jerman, Jan yang masih muda dan suka petualangan ingin bergabung dengan tentara Sekutu. Pada tahun 1943 ia mencoba untuk pergi ke Inggris, tapi ditangkap oleh tentara Jerman dan dipenjara di Vught, kemudian di Utrecht, lalu di Amersfoort dan pada akhirnya di Bocholt di Jerman. Di dalam penjara, sebuah roman yang berjudul Leven en daden van Pastoor Poncke van Damme in Vlaanderen Pastoor Poncke (1941) oleh Jan Eekhout (1900-1978) menjadi sumber inspirasinya dan dia sering membacakannya di depan para sesama yang dipenjara. Dari situ dia dapat julukan 'Poncke', yang dia suka sandang sampai akhir hayatnya. Dia ditahan di dalam penjara sampai Mei 1945.
Ke Indonesia
Segera setelah dibebaskan dari penjara oleh tentara Sekutu, Princen bergabung dengan tentara Sekutu sebagai sukarelawan di tentara Belanda. Dia mendaftarkan diri di Brabantse Stoottroepen (pasukan berani mati Brabant), tapi meninggalkan tantara pada December 1945 ketika perangnya betul-betul selesai. Tidak lama kemudian dia, sebagaimana ribuan pemuda yang lain di Belanda, dapat surat panggilan untuk wajib militer ke Indonesia. Dia tidak mau, maka melarikan diri ke Perancis, tapi ditangkap dan dikirim ke kamp di Schoonhoven, tempat para penolak wajib militer ditampung. Di situ Princen berkenalan dengan Piet van Staveren (1925), seorang komunis yang tidak setuju dengan menjajah-kembalinya Indonesia oleh Belanda, yang akan memberikan pengaruh besar pada kehidupan dan aktivitas Jan Princen selanjutnya. Pada tgl. 28 December 1946, Jan dan penolak wajib militer yang lain dimasukkan ke dalam kapal transportasi militer Sloterdijk dan dikirim ke Indonesia. Kees, adik Jan yang juga meninggalkan seminari di Weert, mendaftarkan diri di angkatan laut tentara Belanda dan berangkat ke Indonesia untuk berperang demi kepentingan Kerajaan Belanda.
Pembelotan
Pada tgl. 22 Oktober 1947, sesampainya di Indonesia, Princen secara resmi divonis duabelas bulan penjara (dari itu empat bulan tanpa syarat) atas tuduhan mencoba untuk mengelak dari wajib militer, dan ditahan di kamp hukum Cisarua, Jawa Barat. Di dalam kamp dia mendengar kabar bahwa Piet van Staveren, teman politiknya, meloloskan diri dari tentara Belanda dan bergabung dengan tentara Indonesia. Seusai masa hukuman, Princen kembali ke dinas militer sebagai kopral bagian medikasi satu dalam Divisi 7 December. Melalui apa yang ia saksikan pada masa dinas militer ini, tumbuh keyakinannya bahwa kekerasan tentara Belanda terhadap orang Indonesia tidak dapat dibenarkan.
Kerjasama dengan musuh
Pada tgl. 25 September 1948 dia dapat cuti dan pergi ke Sukabumi. Di situ dia membelot ke Indonesia. Sebagaimana dilakukan Van Staveren, Princen menyeberang garis demarkasi (garis yang membatasi wilayah pendudukan Belanda) dan masuk ke Yogyakarta melalui Semarang. Ketika itu Yogyakarta adalah ibukota sekaligus pusat politik dan militer Indonesia yang sedang berjuang demi kemerdekaannya. Pertama, ia ditangkap sebagai tawanan perang. Setelah terpecahnya Agresi Militer Belanda Kedua pada tgl. 19 December 1948, dia dibebaskan.
Dia mendaftarkan diri secara resmi pada tantara Indonesia dan pergi kembali ke garis depan di Jawa Barat bersama Divisi Siliwangi. Di situ dia jatuh cinta pada seorang wanita Indonesia yang bernama Odah. Di bawah komandan Kemal Idris (1923-2010) Princen dijadikan komandan untuk sebuah pasukan yang dinamakan Pasukan Istimewa. Pasukan Istimewa itu melakukan penyergapan dan bombardemen terhadap pasukan Belanda, dengan tujuan utama untuk merebut senjatanya.
Mayjen E. Engels (KNIL, 1895-1959) merasa sangat terganggu oleh seorang militer Belanda yang memimpin pasukan Indonesia itu. Tanpa menutupi rasa benci terhadap pemblot ini, ia keluarkan perintah agar "Kopral Princen dibinasakan". Pada tgl. 9 Agustus 1949 Odah, istrinya Princen, dan duabelas pejuang lainnya dibunuh oleh tantara Belanda yang dipimpin Letnan Ulrici (1921-2005) dari Korps Speciale Troepen (Korpus Pasukan Istimewa), sedangkan Poncke Princen, yang merupakan tujuan utama aksi pembunuhan tersebut, lolos. Satu hari setelahnya gencatan senjata disetujui. Serah terima kedaulatan dari Belanda ke Indonesia ditandatangani pada 27 December 1949.
Kehidupan dan karya di Indonesia
Princen menerima penghargaan dari Presiden Sukarno (1901-1970) atas perjuangan militernya. Dia dijadikan warganegara Indonesia dan tinggal berdinas di TNI. Pada tahun 1956 ia dipilih sebagai anggota parlemen juga. Akan tetapi oleh karena kritiknya terhadap pemerintahan Sukarno yang dia utarakan begitu bebas dan begitu sering, dia ditahan dan dipenjara dari 1957 sampai dengan1958, kemudian dari 1962 sampai dengan1966. Pada tahun 1966 dia menjadi ketua Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Pada tahun 70an dia mendirikan bersama temannya Lembaga Bantuan Hukum. Kemudian ia ditahan lagi karena aktivitasnya tidak sesuai arahan politik pemerintah.
Kehidupan Princen yang penuh dengan aksi politik dan pemenjaraan menyebabkan hidupnya bersama istri yang kedua, wanita Indonesia yang bernama Heda, berantakan sehingga pecah. Setelah itu dia menikah dengan wanita Belanda yang bernama Janneke Marckmann (1930) dan dapat tiga anak. Princen, yang tidak kapok dengan seringnya dipenjara, terus saja berkonfrontasi dengan pemerintah dan berjuang demi tegaknya hak asasi manusia dan reformasi berdasarkan demokrasi, dan mengorbankan kehidupan berkeluarga untuk itu. Beberapa tahun kemudian Janneke berangkat ke Belanda bersama anak-anak, meninggalkan Jan di Indonesia.
Pada tahun 1992 Princen dianugrahi penghargaan dari sebuah lembaga internasional untuk aktivitasnya demi hak asasi manusia. Ia juga memainkan peranan istimewa dalam perjuangan untuk kemerdekaan Timor Timur. Ia mendukung gerakan kemerdekaan warga Timor Timur dan jadi berteman dengan Xanana Gusmão (1946), pemimpin gerakan kemerdekaan yang menjadi presiden pertama Timor Timur setelah kemerdekaan. Pada tahun 1998, Princen yang duduk di kursi roda sering menempatkan diri di baris terdepan pada demonstrasi-demonstrasi terhadap kedictatoran militer Presiden Suharto (1921-2008). Sejumlah protes yang kebanyakan dilakukan mahasiswa dan para cendekiawan itu akhirnya menyebabkan jatuhnya Suharto dan membawakan sejumlah reformasi yang democratis yang begitu lama dinanti-nantikan di Indonesia.
Rasa dendam orang-orang KNIL: "Kami masih mau membalas"
Sementara itu, para veteran Hindia-Belanda dan politikus konservatif di Belanda memandang perbuatan Princen—mengarahkan senjatanya ke sesama orang Belanda – sesuatu yang tidak dapat dimaafkan. Terlebih dahulu mereka menganggapnya sebagai pengkhianat negara. Akan tetapi, pada tahun 1993 Ger Vaders (1925-2005), seorang jurnalis dan sekaligus veteran Hindia-Belanda, akhirnya dapat mengatasi rasa bencinya terhadap apa yang Princen lakukan. Dia melakukan kunjungan bersama Poncke ke lokasi-lokasi di Indonesia yang pertempuran antara tentara Indonesia dan tentara Belanda terjadi dalam rangka perang kemerdekaan. Ia menulis sebuah buku yang verjudul Pihak yang Kalah (judul asli De Verliezers) pada tahun yang sama.
Pada tahun 1994, atas dasar kemanusiaan dan dengan syarat "membawa diri dengan baik", Menteri Luar Negeri Belanda memberikan visa kepada Princen untuk berkunjung ke Belanda, tempat Janneke, istrinya yang ketiga, tinggal bersama tiga orang anaknya. Banyak anggota VOMI, sebuah himpunan veteran Hindia-Belanda, memprotes kunjungannya. Letnan B.D. Ulrici, yang pernah memerintah anak buahnya untuk mengasasinasi Princen, menyatakan bahwa ia masih bersedia menembaknya begitu Princen melangkah kakinya di tanah Belanda. Akan tetapi keseluruhan lawatan Princen ke negara kelahirannya berjalan dengan baik tanpa halangan.
Mendekati akhir hidupnya, Princen dapat beberapa kali stroke dan ternyata dia menderita kanker kulit juga. Sampai wafatnya pada bulan Februari 2002, dia bersikap optimis dan giat bekerja. "Saya kira saya mempertahankan sejumlah nilai khas Belanda: ketulusan, cinta pada kebebasan, dan menghargai pendapat orang lain. Saya akan berjuang terus demi nilai-nilai tersebut."
Princen meninggal dunia di Jakarta pada usia 76 tahun dan dimakamkan di pemakaman Pondok Kelapa.
Teks asli artikel ini yang dalam bahasa Belanda dapat dibaca di sini. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dibuat dengan bantuan Noriko Ishida.
Sumber
Wolffers, I en Bloem, M., Wij komen als vrienden, VPRO 1984.
Nijpels, B. Poncke Princen. Held of landverrader, Sting like a bee (KRO) 2009.
Princen, H. en Fenema, J. van, Een kwestie van kiezen, Den Haag, 1995.
Vaders, G. en Jong, de S. (red.), De verliezers: Indonesië op het tweede gezicht, Amsterdam, 1993.
Bals, K. en Gerritsen, M., De Indonesië-weigeraars, Amsterdam, 1989.
Hulst, W., 'De lotgevallen van Poncke Princen, deel 3; De wraak van Het KNIL. De lotgevallen van Poncke Princen', NRC, 28 september 1991.
Dagboek Poncke Princen en andere stukken (ARCH02152), Archief Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis (IISG).